Filsafat Pendidikan Eksistensialisme dan Kontribusinya terhadap Pendidikan Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam proses pertumbuhannya, Filsafat sebagai hasil pemikir­an para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup di dunia, telah melahirkan ber­bagai macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan yang lain hanya bersifat saling kuat me­nguatkan, tetapi tidak jarang pula yang berbeda atau berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan terutama oleh pendekatan yang dipakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk obyek permasalah­annya sama. Karena perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain itu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta tempat di mana mereka bermukim juga ikut membawa dan mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan filsafat sebagaimana yang telah diuraikan dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya akan menjadi jelas adanya perbedaan tersebut di atas. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran. Karena pemikiran filsafat tidak pernah mandeg, maka keputusan atau kesimpulan yang diperolehnya pun tidak pernah merupakan kesimpulan final. Oleh sebab itu, dunia percaturan Filsafat, termasuk di dalamnya filsa­fat pendidikan sering kali hanya berkisar pada permasalahan yang itu-itu juga, baik sebagai suatu bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada.
Oleh karena itu, penulis dalam hal ini akan mengurai sedikitnya tiga aliran dalam filsafat pendidikan serta kontribusinya terhadap pendidikan Islam antara lain: aliran eksistensialisme, perenialisme dan essensialisme.


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemikiran aliran filsafat pendidikan eksistensialisme dan kontribusinya terhadap pendidikan Islam?
2.      Bagaimana pemikiran aliran filsafat pendidikan perennialisme dan kontribusinya terhadap pendidikan Islam?
3.      Bagaimana pemikiran aliran filsafat pendidikan essensialisme dan kontribusinya terhadap pendidikan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pemikiran Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme dan Kontribusinya terhadap Pendidikan Islam
Eksistensialisme berasal dari kata exist. Kata exist itu sendiri adalah bahasa latin yang artinya: ex; keluar dan sistare; berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dengan diri sendiri.[1] Pemikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut Dasain. Da berarti di sana, Sei, berarti berada. Berada bagi manusia selalu berarti di sana, di tempat. Tidak mungkin ada manusia tidak bertempat. Bertempat berarti terlibat dalam alam jasmani, bersatu dengan alam jasmani. Akan tetapi, bertempat bagi manusia tidaklah sama dengan bertempatnya batu atau pohon. Manusia selalu sadar akan tempatnya. Dia sadar bahwa ia menempati. Ini berarti suatu kesibukan, kegiatan melibatkan diri. Dengan demikian, manusia sadar akan dirinya sendiri. Jadi, dengan keluar dari dirinya sendiri manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berada sebagai aku atau pribadi.[2]
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua. Dengan demikian eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.[3]
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa manusia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani, manusia selalu mengonstruksi dirinya dalam alam jasmani sebagai satu susunan. Karena manusia selalu mengonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian, manusia berada dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu. Jadi, manusia selalu menyedang. Sartre menyatakan bahwa hakikat beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan atau sedang). Jadi, manusia itu selalu membangun adanya.
Eksistensialisme pada awalnya berasal dari pemikiran Soren Kierkegaard (Denmark: 1813-1855). Inti masalahnya ialah: apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaan manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang kongkret terhadap persoalan arti “berada” mengenai manusia.[4]
Dalam membuat definisi eksistensialisme, kaum eksestiandis tidak sama tentang apa yang dimaksud sebenarnya dengan eksistensialisme. Namun demikian ada sesuatu yang dapat disepakati oleh mereka yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Filsafat eksistensi tidak sama persis dengan filsafat eksistensialisme. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagaimana arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat eksistensialisme, rumusannya lebih sulit dari pada eksistensi. Sejak muncul filsafat eksistensi, cara wujud manusia telah dijadikan tema sentral pembahasan filsafat, tetapi belum pernah ada eksistensi yang secara begitu radikal menghadapkan manusia kepada dirinya seperti pada eksistensialisme.
Jadi jelasnya eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada manusia di dunia. Cara berada manusia di dalam dunia berbeda dengan cara beradanya benda-benda material. Keberadaan benda-benda tersebut tidak sadar akan dirinya sendiri, dan juga tidak ada komunikasi satu sama lainnya. Tidak demikian ber-ada-nya manusia di dunia ini. Manusia berada bersama dengan manusia, dan benda-benda itu berarti karena manusia.
Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; tumbuh-tumbuhan dan hewan juga ada di dunia. Akan tetapi, cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami ber-ada-nya dunia itu dan menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia dan mengerti apa yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna tumbuhan, batu dan salah satu di antaranya adalah dia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Apa arti semua ini? Artinya ialah bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya di sebut objek.[5]
Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang terpisah dari manusia tidak akan bermakna atau mempunyai tujuan. Jadi dunia ini hanya akan bermakna karena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan adalah cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung. Demikian yang dikemukakan oleh Kneller.
Jadi dari sedikit uraian dan pandangan beberapa tokoh mengenai eksistensialisme di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu;
1.      Motif pokoknya ialah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi, eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Karena itu manusia bersifat humanistik,
2.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi dan merencanakan.
3.      Dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai suatu yang terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih-lebih kepada sesama manusia. Keempat, filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongkret, pengalaman yang eksistensial.
Selanjutnya, pandangan filsafat eksistensialisme tentang pendidikan, disimpulkan oleh Vas Cleve Morris dalam Existentialism and Education, bahwa "Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk". Oleh sebab itu eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai "existentialism's concept o freedom in education", menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan Deschooling Society yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendaki aliran eksistensialisme. Di sini agaknya mengapa aliran eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat pendidikan.[6]
Dari sudut pandang tujuan pendidikan di Indonesia, jelas sekali bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia sangat mementingkan pengembangan sistem nilai. Bahkan, karakteristik manusia Indonesia yang cerdas juga harus disertai sifat kepribadian yang mengacu pada aspek sistem nilai. Wujud kepribadian atau tingkah laku adalah meng-ada secara terus-menerus dalam kehidupan keseharian di manapun dan dalam keadaan bagaimanapun.[7]
Selanjutnya, berbicara masalah kepribadian dan sistem nilai, maka hal ini berada pada wilayah afektif. Kawasan afektif itu sendiri memiliki unsur-unsur: minat, (interest), sikap (attitude), nilai (value), dan apresiasi (appreciation).[8] Posisi sikap, minat, sistem nilai, dan apresiasi seseorang terhadap suatu fenomena kognitif sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam diri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.[9] Perilaku baik atau buruk, kesesuaiannya dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang umumnya untuk manggambarkan kepribadian yang utuh: termasuk disiplin, bertanggung jawab, etos kerja, amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan kemandirian.[10]
Berdasarkan tujuan pendidikan di Indonesia tersebut, maka relevansi ajaran pokok filsafat eksistensialisme dengan tujuan pendidikan di Indonesia adalah terletak pada nilai dasar eksistensialisme untuk membina kawasan afektif dengan unsur-unsurnya yang pada gilirannya dapat mewujudkan perilaku, yang mencerminkan tergambarnya kepribadian yang utuh. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Ajaran eksitensialisme tentang keber”ada”an manusia berarti memandang manusia secara utuh, baik aspek jasmani maupun dataran rohani yang bukan saja aspek pikir, tapi juga berkesadaran. Hal ini dapat sebagai jalan untuk mengantarkan pemikiran dan praksis pendidikan untuk menuju terwujudnya kepribadian yang utuh, yakni sebagai manusia yang tepat dalam menentukan minat, sikap, dan apresiasi terhadap nilai-nilai, dan norma kehidupan.
2.      Ajaran eksistensialisme tentang makna bereksistensi bahwa bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan untuk mengantarkan anak didik memiliki sikap disiplin, bertanggung jawab, dan beretos kerja. Pada gilirannya hal itu dapat untuk mewujudkan gambaran manusia yang cerdas, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kepribadian yang mantap.
3.      Ajaran filsafat eksistensialisme teistis tentang stadium religius bahwa manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan Tuhan. Hasilnya ialah perubahan manusia karena imannya. Hal ini dapat mendorong ke arah pemikiran dan praksis pendidikan guna mengarahkan anak didik memiliki sikap atau kepribadian amanah (dapat dipercaya), pegang janji, kearifan, dan kemandirian. Pendidikan ini pada gilirannya dapat mewujudkan gambaran manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur dalam arti yang sebenarnya, maksudnya beriman dan berbudi pekerti luhur yang dilandasi oleh keikhlasan bukan karena ada udang di balik batu. Adapun ajaran filsafat eksistensialisme Ateistis dari tokoh Sartre mengenai azas eksistensi tentang keterbukaan, kesadaran, dan kemerdekaan tak ada batas; tak ada norma. Hal ini justru anarkhi dan oportunis karena bertentangan dengan tujuan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu, cukuplah di sini dikatakan bahwa dari seorang filsuf atau dari ajaran filsafat, yang tidak bisa kita setujui, dan kita bisa belajar banyak.
B.     Pemikiran Aliran Filsafat Pendidikan Perennialisme dan Kontribusinya terhadap Pendidikan Islam
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang dalam Oxford Advanced learner's Dictionary of Current English diartikan sebagai "continuing throughout the whole year" atau "Lasting for a very long time"-  abadi atau kekal. Dari makna yang terkandung dalam kata itu, aliran perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma norma yang bersifat kekal abadi.[11]
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar berupa "kembali kepada kebudayaan masa lampau"[12]. Oleh sebab itu pe­rennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada ke­budayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah teruji ketangguhannya. Sikap kembali pada masa lampau bukan­lah berarti nostalgia, akan tetapi sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam yang juga diperlukan dalam kehidupan abad modern.
Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang berkiblat dua, yaitu:
1.      Perennialisme yang teologis yang bernaung di bawah supremasi gereja Katolik; dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas; dan
2.      Pe­rennialisme sekuler yang berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.[13]
Selanjutnya, di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya: Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-­nilai adalah manifestasi dari pada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pe­merintahan. Maka tujuan utama pendidikan adalah “Membina pe­mimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif itu dalam semua aspek kehidupan”.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya ber­orientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya ke­butuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakatt bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih men­dekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pen­didikan adalah "kebahagiaan". Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang dimaui oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar men­jadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberi bantuan pada anak didik untuk mengem­bangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembang­annya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.[14]
Berikut secara lebih detail akan disajikan beberapa rumusan-rumusan aliran perennialisme dalam teori pendidikan:[15]
1.      Tujuan Pendidikan
Membantu anak menyingkap dan menanamkan ke­benaran-kebenaran hakiki. Oleh karena kebenaran­-kebenaran, tersebut universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-­kebenaran hakiki dapat dicapai dengan sebaik-baiknya melalui:
a.       Latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran, dan
b.      Latihan karakter sebagai suatu cara mengem­bangkan manusia spiritual.
2.      Metode Pendidikan
Latihan mental dalam bentuk diskusi, analisis buku melalui pembacaan buku-buku yang tergolong karya­karya besar, buku-buku besar tentang peradaban Ba­rat.
3.      Kurikulum
Kurikulum berpusat pada mata pelajaran, dan cen­derung menitikberatkan pada: sastra, matematika, bahasa, dan humaniora, termasuk sejarah. Kurikulum adalah pendidikan liberal.
4.      Pelajar
Makhluk rasional yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebanaran abadi, pikiran meng­angkat dunia biologis.
5.      Pengajar
a.       Guru mempunyai peranan dominan dalam penye lenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas.
b.      Guru hendaknya orang yang telah menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli (a mas­ter teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebe­naran-kebenaran yang tepat, dan yang wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahu­an dan keahliannya tidak diragukan.
C.     Pemikiran Aliran Filsafat Pendidikan Essensialisme dan Kontribusinya terhadap Pendidikan Islam
Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibelitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.[16]
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawi­an, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan realisme.
Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan,[17] menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
1.      Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh per­tama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat huma­nistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2.      Johann Amos Comenius yang hidup di seputar tahun 1592-1670, adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dog­matis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, ka­rena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3.      John Locke, tokoh dari Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
4.      Johann Henrich Pestalozzi, sebagai seorang tokoh yang ber­pandangan naturalistis yang hidup pada tahun 1746-1827. Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai hubungan transen­dental langsung dengan Tuhan.
5.      Johann Friederich Frobel (1782-1852) sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintetis dengan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentu­an-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan Frobel me­mandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
6.      Johann Triederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang berpan­dangan kritis. Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum, kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai “pengajaran yang mendidik”.
7.      William T. Harris, tokoh dari Amerika Serikat hidup pada tahun 1835-1909. Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidik­an umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.
Dalam rangka mempertahankan pahamnya itu, khususnya dari persaingan dengan paham progressivisme, tokoh-tokoh esensi­alisme mendirikan suatu organisasi yang bernama “Essentialist Committee for the advancement of Education pada tahun 1930. Melalui organisasi inilah, pandangan-pandangan esensialisme dikembangkan dalam dunia pendidikan. Sebagaimana telah di­singgung di muka bahwa esensialisme mempunyai pandangan yang dipengaruhi oleh paham idealisme dan realisme, maka konsep-­konsepnya tentang pendidikan sedikit banyak ikut diwarnai oleh konsep-konsep idealisme dan realisme.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupa­kan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagaii ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah per­kembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya.[18] Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
Selain teori di atas, beberapa hal di bawah ini secara detail akan dibahas beberapa konsep pendidikan aliran essensialisme[19]. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      TujuanPendidikan
Tujuan pendidikan adalah menyampaikan warisan bu­daya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh kete­rampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nila-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan.
2.      Metode Pendidikan
a.       Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered).
b.      Umumnya diyakini bahwa pelajar tidak betul-be­tul mengetahui apa yang diinginkan, dan mereka harus dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat lemah-lembut harus dijauhi, dan me­musatkan diri pada penggunaan metode-metode latihan tradisional yang tepat.
c.       Metode utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan pengu­asaan pengetahuan, misalnya melalui penyam­paian informasi dan membaca.
3.      Kurikulum
a.       Kurikulum berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata.pelajaran akademik yang pokok.
b.      Kurikulum Sekolah Dasar ditekankan pada pe­ngembangan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan matematika.
c.       Kurikulum sekolah menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika, ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi pen­didikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna.
4.      Pelajar
Siswa adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yangg siap siaga melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir.
5.      Pengajar
a.       Peranan guru harus kuat dalam mempengaruhi dan me­ngawasi kegiatan-kegiatan di kelas.
b.      Guru berperanan sebagai sebuah contoh dalam pe­ngawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan-gagasan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami ber-ada-nya dunia itu dan menyadari dirinya berada di dunia. Adapun kontribusinya terhadap pendidikan meliputi: 1) ajaran eksitensialisme tentang keber”ada”an manusia berarti memandang manusia secara utuh, 2) Bereksistensi bahwa bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, dan merencanakan, 3) Ajaran filsafat eksistensialisme teistis tentang stadium religius bahwa manusia sebagai subjek yang individual dalam hubungannya dengan Tuhan.
Perennialisme adalah aliran yang menganggap bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar berupa "kembali kepada kebudayaan masa lampau”. Adapun sumbangsihnya dalam dunia pendidikan meliputi: 1) tujuan pendidikan: 2) metode pendidikan, 3) pada aspek kurikulum  yang berpusat pada mata pelajaran, 4) pengajar adalah guru harus mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas dan menguasai suatu cabang ilmu.
Selanjutnya, esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas. Adapun kontribusinya terhadap pendidikan adalah di antaranya: 1) pada aspek tujuan pendidikan yaitu menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, 2) metode pendidikan: berpusat pada guru dengan metode utama adalah latihan mental, 3) kurikulum: berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik yang pokok, 4) pelajar: adalah makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yangg siap siaga melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir dan 5) pengajarharus mampu mempengaruhi dan me­ngawasi kegiatan-kegiatan di kelas serta menjadi sebuah contoh dalam pe­ngawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau gagasan-gagasan.


DAFTAR PUSTAKA

Barnabib, Imam. 1982. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogyakarta.
Mastuhu, 1999. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muzakir, Ahmad Sadali. 2004. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Noor Syam, Muhammad. 1978. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: FIP IKIP Malang.
Salam, H. Burhanuddin. 1997. Logika Materil Filsafat (Ilmu Pengantar). Jakarta: Rineka Cipta.
Suyanto dan Djihad Hisjam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Tafsir, Ahmad. 2002. Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosda Karya
Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


[1] Ahmad Sadali, Muzakir, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 112
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 218
[3] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 30
[4] H. Burhanuddin Salam, Logika Materil Filsafat (Ilmu Pengantar) (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 207.
[5] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), 219
[6] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 31
[7] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 136
[8] Suyanto dan Djihad Hisjam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), 152.
[9] Suyanto dan Djihad Hisjam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, 154
[10] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 135
[11] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 28
[12] Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang: FIP IKIP Malang, 1978), 158
[13] Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan, 159
[14] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 28-29
[15] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 167-168
[16] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 25
[17] Imam Barnabib, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogyakarta, 1982), 38-40.
[18] Muhammad Noor Syam, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang: FIP IKIP Malang, 1978), 153
[19] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 163

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi

sejarah perkembangan psikologi dan kemajuannya