FILSAFAT ILMU



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Untuk menentukan kepercayaan apa yang benar, para filosof pada umumnya bersandar pada tiga cara untuk menguji kebenaran. Individu-individu percaya kepada beberapa hal dan bertindak berdasarkan atas kepercayaan tersebut sebelum mereka merasakan perlunya bertanya mengapa ada kepercayaan yang benar dan ada pula kepercayaan yang salah?
Pada era saat ini, hanya sedikit orang pandai yang bersedia menerima kebiasaan dan tradisi sebagai suatu pembenaran untuk mengatakan bahwa sesuatu hal adalah benar. Adat kebiasaan dan tradisi sering merupakan hal yang berharga, akan tetapi juga dapat menyesatkan. Kadang-kadang tradisi mengandung konflik dan biasanya tidak memberi peluang untuk perubahan dan kemajuan. Anggapan bahwa persetujuan universal (universal agreement) adalah kriteria kebenaran, juga tidak dapat menjamin terdapat keyakinan yang telah tersiar luas dan diterima oleh manusia selama berabad-abad (seperti anggapan bahwa bumi datar), kemudian ternyata salah.
Pada masa lalu, ada ahli fikir yang mengatakan bahwa yang dapat mengetahui kebenaran adalah naluri (instinct). Pendapat ini selalu mendapat kritik dan serangan, banyak hal yang dulu dinamakan insting, sekarang dapat diberi penjelasan secara lebih memuaskan dengan mengatakan bahwa hal-hal tersebut adalah hasil "conditioning" (pengondisian). Di samping itu, ada orang-orang yang berpendapat bahwa ukuran kebenaran adalah perasaan yang kuat bahwa sesuatu hal itu benar. Akan tetapi perasaan-perasaan itu dapat ditentukan oleh mood (keadaan jiwa), kesehatan dan latihan (training).
Kita akan menemukan bahwa tak ada kesepakatan tentang mengkaji kebenaran. Tiap jawaban akan menimbulkan kritik tajam yang datang dari orang-orang yang mempunyai pandangan yang berbeda. Tentunya dalam hal ini kita akan bertanya: Apakah salah satu dari ujian ini benar atau apakah masing-masing menyumbangkan suatu pandangan? Apakah ujian-ujian kebenaran itu dapat digabungkan? Oleh karena itu, secara terperinci, penulis akan mencoba mengulas beberapa hal tentang teori kebenaran, khususnya yang bersifat ilmiah.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa saja macam-macam teori kebenaran?
2.      Bagaimana mengevaluasi teori kebenaran?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Macam-macam Teori Kebenaran
Sedikitnya, ada 3 (tiga) teori yang banyak dikenal oleh manusia dalam mencari kebenaran, walaupun masih banyak teori lain yang ditelorkan oleh para filosof. Tiga teori ini adalah sebagai berikut:
  1. Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran ini bermula dari Aristoteles (sebelum abad modern) yang disebut dengan “teori penggambaran” yang diartikan sebagai kebenaran adalah kesesuaian antara penggambaran dengan yang digambarkan. Selain itu, teori ini juga sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan yang lebih mengedepankan pengalaman, sehingga dalam istilah lain teori ini disebut dengan teori empirisme.[1] Selajutnya, Berling dalam bukunya Pengantar Filsafat ilmu, menegaskan bahwa menurut teori ini, suatu pernyataan dapat dianggap benar bila materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[2]
Pengertian yang lebih rinci dapat kita lihat pada ungkapan Harold H. Titus dalam bukunya "Living Issues in Philosophy" yang diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi, yang memberikan pengertian kebenaran dalam pendekatan korespondensi adalah kesetiaan kepada realitas objektif. Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri atau antara pertimbangan dengan situasi yang dipertimbangkan. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[3]
Jika saya mengatakan bahwa STAIN Jember terletak di Jl. Jumat No. 94 Mangli Jember, maka menurut pendekatan ini, pernyataan saya tadi benar, bukan karena ia sesuai dengan pernyataan lain yang sebelumnya telah diberikan orang atau karena kebetulan pernyataan itu berguna, akan tetapi karena pernyataan itu sesuai dengan situasi geografi STAIN Jember yang sebanarnya. Inilah arti dari kata-kata kebenaran dalam percakapan sehari-hari. Hal ini juga merupakan pandangan yang khas dari seorang ilmuan yang mengecek idenya dengan data-data atau penemuan-penemuannya dan merasa senang untuk menyerahkan kesimpulan-kesimpulannya untuk diuji secara objektif oleh ilmuan-ilmuan lain.
Selanjutnya, teori korespondensi pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. K. Rogers, seorang penganut realisme kritis Amerika berpendapat bahwa, keadaan benar ini terletak dalam kesesuaian antara: (1) Esensi atau arti yang kita berikan, dan (2) Esensi yang terdapat dalam objeknya. Realisme epistemologis berpandangan bahwa terdapat realitas atau memahaminya. Itulah sebabnya, realisme epistemologis yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran, dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya kadang kala disebut obyektivisme. Dengan kata lain, Realisme epistemologis atau obyektivisme berpegang kepada kemandirian kenyataan, tidak tergantung pada yang di luarnya.[4]
Dalam hal ini, kaum Marxist mengenal 2 (dua) macam kebenaran, yaitu: 1) kebenaran mutlak, dan 2) kebenaran relatif. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang selengkapnya objektif, yaitu suatu pencerminan dari pada realitas secara pasti mutlak. Sedangkan kebenaran relatif adalah pengetahuan mengenai realitas yang kesesuaiannya tidak lengkap, tidak sempurna. Menurut Lenin, kebenaran relatif ini perncerminan dari pada objek yang relatif benar, yang terbatas dari manusia.[5]
Selanjutnya, menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, hal ini karena kebenaran atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika suatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah. Walaupun begitu, penyanggah teori korespondensi tidak berpendapat bahwa soal menguji kebenaran pernyataan tidak seterang dan sejelas yang disangka oleh pengikut teori korespondensi. Pertanyaan kritik yang pertama biasanya adalah: Bagaimana kita dapat membandingkan ide-ide dengan realitas? Sedangkan kita hanya mengetahui pengalaman kita. Bagaimana kita dapat keluar dari pengalaman-pengalaman kita sehingga kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan realitas yang ada? Mereka berkata: "Teori korespondensi berasumsi bahwa kita mengetahui, bukan saja pertimbangan kita, tetapi keadaan yang nyata di samping pengalaman-pengalaman kita".[6]
Dari penyampaian kritik ini, maka ditemukan beberapa kesukaran yang didapatkan dari teori korespondensi. Di antaranya adalah: Pertama, teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
Kedua, teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu-persatu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimana pun hal itu sulit untuk dilakukan.

Ketiga, kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan atau indera tidak normal lagi. Di samping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diindera. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.[7]
Dalam perkembangannya, teori korespondensi dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi pengalaman atau empiria ilmiah sesungguhnya lebih dari sekadar pengalaman sehari-hari serta hasil tangkapan inderawi. Cara ilmiah untuk menangkap sesuatu harus dipelajari terlebih dahulu dan untuk sebagian besar tergantung pada pendidikan ilmiah yang harus ditempuh oleh peneliti.[8]
  1. Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Menurut teori koherensi, kebenaran tidak dibentuk atas dasar hubungan antara pernyataan dengan kenyataan (fakta dengan realitas), tetapi atas dasar pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara pernyataan yang baru dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya. Jadi, suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan) dengan proposisi lain yang benar. Secara lebih rinci, menurut teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Sebagai gambaran, bila pernyataan semua logam jika kena panas memuai adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa besi merupakan logam, sehingga bila besi kena panas memuai adalah pernyataan yang benar.[9]
Teori koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang paling banyak diterima oleh kelompok idealisme, sebut saja seperti Hegel, Bridley dan pengikut madzhab idealisme lainnya walaupun penerimaan teori ini tidak terbatas pada kelompok itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat membandingkan fikiran-fikiran dan pertimbangan kita dengan dunia seperti apa adanya. Teori koherensi menempatkan kepercayaannya dalam konsistensi atau keharmonisan segala pertimbangan kita.
Dalam keadaan biasa, kita sering mengatakan bahwa pertimbangan adalah benar atau salah karena ia adalah sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang sudah kita anggap benar sebelumnya. Atas dasar inilah, penganut paham idealisme akan menolak banyak ide yang tidak masuk akal dan menganggap beberapa pengalaman sebagai ilusi atau persepsi yang salah. Walaupun demikian, bukan berarti aliran idealisme menolak ide atau kebenaran-kebenaran baru yang muncul tanpa adanya penyelidikan.[10]
Dari berbagai uraian di atas, maka muncullah beberapa kritik tentang teori koherensi. Salah satu di antaranya adalah para penyanggah teori koherensi ini mengatakan bahwa kita dapat membentuk suatu sistem yang koheren, baik sistem tersebut benar atau salah. Mereka mengatakan bahwa teori koherensi tidak membedakan antara kebenaran yang konsisten dan kesalahan yang konsisten. Pernyataan bahwa “suatu pertimbangan itu benar jika ia konsisten dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang sudah diterima dan dianggap benar” justru dapat menjerumuskan kita kepada suatu lingkaran yang berbahaya di mana pernyataan-pernyataan itu palsu. Masing-masing mengaku benar karena konsisten dengan lainnya. Kemudian para penyanggah tersebut mengingatkan bahwa pada masa yang lalu banyak sistem yang meskipun menurut logika bersifat konsisten, ternyata keliru. Oleh karena itu, maka korespondensi kepada fakta merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh sistem yang paling konsisten.
Selain itu, penyanggah teori koherensi juga mengatakan bahwa teori tersebut bersifat rasional dan intelektual dan hanya menghadapi hubungan-hubungan logika dalam susunan-susunan kata. Justru karena itu, teori tersebut gagal dalam memberikan ujian kebenaran kepada pertimbangan kehidupan sehari-hari. Jika tes koherensi dipakai, ia perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsisten faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu. Tetapi hal ini adalah korespondensi dan bukan koherensi.[11]
Selanjutnya, dalam perkembangannya, salah satu bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan dengan pembuktian berdasarkan teori koherensi adalah matematika. Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322) telah mengembangkan teori koherensi ini berdasarkan pola pemikiran yang digunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.[12]
Teori koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau matematik. Nama ilmu deduktif diberikan karena dalam menyelesaikan suatu masalah atau membuktikan suatu kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang bersifat faktual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-penjabaran.
Apa yang harus dipenuhi agar ciri-ciri deduksi dapat diketahui dengan tepat, merupakan masalah pokok yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian yang banyak dianut sampai saat ini adalah deduksi merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta-serta aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap bahwa tidaklah mungkin titik-titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar.[13]
  1. Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory of Truth)
Teori pragmatisme sebenarnya lahir akibat ketidakpuasan terhadap teori-teori kebenaran sebelumnya yang kemudian mereka mencoba menelorkan satu teori baru yaitu pragmatisme. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma yang artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut teori ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori sangat bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan tersebut. Dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam penghidupannya. Istilah pragmaticisme (pragmaticism) ini pada awalnya diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1939-1914) bagi doktrin pragmatisme yang diumumkannya pada tahun 1978.[14]
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan bahwa “motivasi merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan prestasi belajar anak” dapat dianggap benar bila pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar anak dapat ditingkatkan melalui pengembangan motivasi belajarnya.
Kebenaran tidak dapat terjadi karena kesesuaian dengan realitas, karena yang kita ketahui hanya pengalaman kita sendiri. Di lain pihak, teori koherensi adalah formal dan rasional. Pragmatisme mengatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui substansi, esensi, serta realitas tertinggi (ultimate reality). Pragmatisme menentang segala otoritarianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Para pengikut pragmatisme bersikap empiris dalam memberi tafsiran kepada pengalaman-pengalaman. Bagi mereka, ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan. Charles S. Pierce yang biasa disebut sebagai Bapak Pragmatisme, berpendirian bahwa ujian kebenaran yang terbaik tentang suatu ide adalah pertanyaan: Jika ide itu benar, apakah akibatnya kepada tindakan kita dalam hidup? Tak ada perbedaan antara kebenaran yang mutlak atau yang statis. Bahkan menurut William James, ide yang benar adalah ide yang dapat kita asimilasikan, yang dapat kita sahkan, kita benarkan dan kita buktikan kebenaranya. Ide-ide palsu adalah yang tidak tesebut seperti di atas.[15]
Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa menurut pendekatan ini, tidaklah terdapat apa yang disebut kebenaran yang tetap atau kebenaran yang mutlak. Semuanya berjalan relatif tergantung sejauh mana teori itu dapat memberikan faidah atau manfaat dalam hidup dan kehidupan.
Seperti yang terjadi pada dua teori kebenaran yang kita ulas sebelumnya (korespondensi dan koherensi), teori pragmatisme ini juga tidak terlepas dari beberapa kritik. Salah satu di antaranya dikemukakan oleh John H. Randall dan Justus Buchler yang dikutip oleh Endang Syaifuddin Anshari. Dalam teori pragmatisme tentang konsepsi kebenaran, kata-kata “berguna” masih dianggap kabur. Kritik lain juga disampaikan oleh AC. Ewing yang mengemukakan antara lain:
a.       Suatu kepercayaan mungkin saja berlaku dengan baik walaupun tidak benar atau sebaliknya suatu kepercayaan mungkin saja berjalan buruk walaupun benar.
b.      Kepercayaan yang benar biasanya berlaku, hal ini biasanya karena pertama-tama kepercayaan itu benar.
c.       Apa yang berlaku bagi seseorang mungkin saja tidak berlaku bagi orang lain, bahkan apa yang berlaku bagi seseorang tertentu pada waktu tertentu mungkin saja tidak berlaku bagi dia sendiri pada waktu tertentu.[16]
Selain beberapa teori kebenaran yang telah kami ulas di atas (korespondensi, koherensi, dan pragmatisme) sebenarnya masih ada beberapa teori kebenaran yang mungkin dapat digunakan pada situasi dan waktu tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan tiga teori di atas. Salah satu di antaranya adalah teori kebenaran performatik. Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau Pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Namun, ketika rezim orde baru digulirkan, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan menjadi kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
B.     Evaluasi Teori Kebenaran
Nampaknya, tiap-tiap teori kebenaran itu mempunyai nilai dalam situasi tertentu. Teori korespondensi banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari, begitu juga dalam bermacam-macam sains. Sering terjadi bahwa kita merasa dapat memeriksa ide-ide kita dengan fakta-fakta dan menerima konfirmasi setelah peneliti-peneliti lain memeriksa hasil-hasil kita. Walaupun begitu, dalam bidang-bidang yang rumit dari pengalaman-pengalaman dan pemikiran manusia, teori korespondensi tidak akan berfungsi. Dalam keadaan semacam itu kita harus memakai teori koherensi atau konsistensi. Pada waktu-waktu yang lain, kita mungkin membela teori tersebut dengan suatu konsep seperti demokrasi, dengan menunjukkan bahwa demokrasi telah berjalan baik dan memberikan hasil-hasil yang memuaskan dalam pengalaman manusia.
Terdapat filosof-filosof dari bermacam-macam aliran yang mengatakan bahwa istilah benar atau salah adalah ekspresi deskriptif. Asumsi ini telah dibantah dengan pernyataan bahwa kata “benar” dipakai sebagai ekspresi performatif. Mengatakan bahwa suatu pernyataan itu benar berarti melakukan tindakan menyetujui atau menerima suatu pernyataan. Kata-kata “Aku berjanji” berarti melakukan tindakan berjanji. Apakah “performative theory” kebenaran telah menambah sesuatu yang tidak dapat tercakup dalam salah satu dari tiga macam teori kebenaran. Ini adalah persoalan yang masih belum terjawab.[17]
Selanjutnya, A.C. Ewing yang dikutip oleh Endang Saifuddin Anshari menegaskan bahwa persoalan mengenai teori kebenaran ini, para filosof dan pemikir percaya bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa dengan hanya berpegang pada salah satu dari teori saja. Karena bagaimanapun juga, arah menuju jalan kebenaran sebuah pengetahuan bukan hanya satu jalan, melainkan banyak.
Oleh karena itu, teori-teori tersebut saling memperkuat dan tidak berkontradiksi. Dengan kata lain, maka dapatlah kiranya digabungkan dalam suatu definisi: kebenaran adalah sikap persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide-ide kita kepada fakta-fakta pengalaman atau kepada alam seperti apa adanya. Akan tetapi, karena kita tidak selalu dapat membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya, maka kita uji pertimbangan tersebut dengan konsistensinya atau dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau mungkin juga kita uji dengan faidah dan akibat-akibatnya yang praktis dalam hidup dan kehidupan.[18]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam mencari kebenaran ilmiah, banyak teori yang dapat digunakan oleh manusia. Sedikitnya dalam hal ini, ada 3 (tiga) teori kebenaran yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh manusia dalam mencari kebenaran, di antaranya adalah: Pertama, teori korespondensi yaitu: kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Kedua, teori koherensi atau konsistensi yaitu: penyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai, berhubungan atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang diakui dan dianggap benar. Ketiga, teori pragmatisme yaitu: kebenaran sebuah pernyataan lebih dilihat pada manfaat dalam kehidupan praktis. Namun, bagaimanapun juga, ketiga teori ini dalam situasi dan waktu tertentu tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, tidak heran jika masing-masing teori ini mendapat kritik dan dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam kenyataannya seperti saat ini, kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dari tiga pendekatan, yaitu: (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, dan (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan dari pada saling bertentangan. Maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. Kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi, karena kita tidak selalu dapat membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya atau dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Saifuddin, Endang. 1987. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Beerling at al. 1996. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Mubarok, Ahmad Farid. Artikel tentang “Teori-teori Kebenaran: Korespondensi, Koherensi, Pragmatik” http://www.infofisioterapi.com/info/teori-teori-kebe­naran-filsafat.html, Accesed: June 28, 2010)
Titus, Harold H., dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi. Jakarta: PT. Bulan Bintang


[1] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 22
[2] Beerling at al, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 53
[3] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 237
[4] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 19-20
[5] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, 21
[6] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 237
[7] Ahmad Farid Mubarok, Artikel tentang “Teori-teori Kebenaran: Korespondensi, Koherensi, Pragmatik” http://www.infofisioterapi.com/info/teori-teori-kebenaran-filsafat.html, Accesed: June 28, 2010)
[8] Beerling at al, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 53
[9] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 23
[10] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 239
[11] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi, 239
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 2005), 57
[13] Beerling at al, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 23
[14] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 27
[15] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 241
[16] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 29
[17] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 244
[18] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 31

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme dan Kontribusinya terhadap Pendidikan Islam

sejarah perkembangan psikologi dan kemajuannya