FILSAFAT ILMU
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk menentukan
kepercayaan apa yang benar, para filosof pada umumnya bersandar pada tiga cara
untuk menguji kebenaran. Individu-individu percaya kepada beberapa hal dan
bertindak berdasarkan atas kepercayaan tersebut sebelum mereka merasakan
perlunya bertanya mengapa ada kepercayaan yang benar dan ada pula kepercayaan
yang salah?
Pada era saat ini,
hanya sedikit orang pandai yang bersedia menerima kebiasaan dan tradisi sebagai
suatu pembenaran untuk mengatakan bahwa sesuatu hal adalah benar. Adat
kebiasaan dan tradisi sering merupakan hal yang berharga, akan tetapi juga
dapat menyesatkan. Kadang-kadang tradisi mengandung konflik dan biasanya tidak
memberi peluang untuk perubahan dan kemajuan. Anggapan bahwa persetujuan universal
(universal agreement) adalah kriteria kebenaran, juga tidak dapat
menjamin terdapat keyakinan yang telah tersiar luas dan diterima oleh manusia
selama berabad-abad (seperti anggapan bahwa bumi datar), kemudian ternyata
salah.
Pada masa lalu, ada
ahli fikir yang mengatakan bahwa yang dapat mengetahui kebenaran adalah naluri
(instinct). Pendapat ini selalu mendapat kritik dan serangan, banyak hal
yang dulu dinamakan insting, sekarang dapat diberi penjelasan secara
lebih memuaskan dengan mengatakan bahwa hal-hal tersebut adalah hasil "conditioning"
(pengondisian). Di samping itu, ada orang-orang yang berpendapat bahwa ukuran
kebenaran adalah perasaan yang kuat bahwa sesuatu hal itu benar. Akan tetapi
perasaan-perasaan itu dapat ditentukan oleh mood (keadaan jiwa),
kesehatan dan latihan (training).
Kita akan menemukan
bahwa tak ada kesepakatan tentang mengkaji kebenaran. Tiap jawaban akan
menimbulkan kritik tajam yang datang dari orang-orang yang mempunyai pandangan
yang berbeda. Tentunya dalam hal ini kita akan bertanya: Apakah salah satu dari
ujian ini benar atau apakah masing-masing menyumbangkan suatu pandangan? Apakah
ujian-ujian kebenaran itu dapat digabungkan? Oleh karena itu, secara
terperinci, penulis akan mencoba mengulas beberapa hal tentang teori kebenaran,
khususnya yang bersifat ilmiah.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang
di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa saja macam-macam teori kebenaran?
2.
Bagaimana mengevaluasi teori kebenaran?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Macam-macam
Teori Kebenaran
Sedikitnya, ada 3
(tiga) teori yang banyak dikenal oleh manusia dalam mencari kebenaran, walaupun
masih banyak teori lain yang ditelorkan oleh para filosof. Tiga teori ini
adalah sebagai berikut:
- Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran
ini bermula dari Aristoteles (sebelum abad modern) yang disebut dengan “teori
penggambaran” yang diartikan sebagai kebenaran adalah kesesuaian antara
penggambaran dengan yang digambarkan. Selain itu, teori ini
juga sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan yang lebih
mengedepankan pengalaman, sehingga dalam istilah lain teori ini disebut dengan
teori empirisme.[1]
Selajutnya, Berling dalam bukunya Pengantar Filsafat ilmu, menegaskan bahwa menurut
teori ini, suatu pernyataan dapat dianggap benar bila
materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh
pernyataan tersebut.[2]
Pengertian yang lebih
rinci dapat kita lihat pada ungkapan Harold H. Titus dalam bukunya "Living
Issues in Philosophy" yang diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi, yang
memberikan pengertian kebenaran dalam pendekatan korespondensi adalah kesetiaan
kepada realitas objektif. Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang
fakta dengan fakta itu sendiri atau antara pertimbangan dengan situasi yang
dipertimbangkan. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau
pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.[3]
Jika saya mengatakan
bahwa STAIN Jember terletak di Jl. Jumat No. 94 Mangli Jember, maka menurut
pendekatan ini, pernyataan saya tadi benar, bukan karena ia sesuai dengan
pernyataan lain yang sebelumnya telah diberikan orang atau karena kebetulan
pernyataan itu berguna, akan tetapi karena pernyataan itu sesuai dengan situasi
geografi STAIN Jember yang sebanarnya. Inilah arti dari kata-kata kebenaran
dalam percakapan sehari-hari. Hal ini juga merupakan pandangan yang khas dari
seorang ilmuan yang mengecek idenya dengan data-data atau penemuan-penemuannya
dan merasa senang untuk menyerahkan kesimpulan-kesimpulannya untuk diuji secara
objektif oleh ilmuan-ilmuan lain.
Selanjutnya,
teori korespondensi pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. K. Rogers,
seorang penganut realisme kritis Amerika berpendapat bahwa, keadaan benar ini
terletak dalam kesesuaian antara: (1) Esensi atau arti yang kita berikan, dan
(2) Esensi yang terdapat dalam objeknya. Realisme epistemologis berpandangan
bahwa terdapat realitas atau memahaminya. Itulah sebabnya, realisme
epistemologis yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran,
dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya kadang kala disebut
obyektivisme. Dengan kata lain, Realisme epistemologis atau obyektivisme
berpegang kepada kemandirian kenyataan, tidak tergantung pada yang di luarnya.[4]
Dalam hal ini,
kaum Marxist mengenal 2 (dua) macam kebenaran, yaitu: 1) kebenaran mutlak, dan
2) kebenaran relatif. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang selengkapnya
objektif, yaitu suatu pencerminan dari pada realitas secara pasti mutlak.
Sedangkan kebenaran relatif adalah pengetahuan mengenai realitas yang
kesesuaiannya tidak lengkap, tidak sempurna. Menurut Lenin, kebenaran relatif
ini perncerminan dari pada objek yang relatif benar, yang terbatas dari
manusia.[5]
Selanjutnya, menurut
teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, hal ini karena kebenaran atau
kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari.
Jika suatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika
tidak, maka pertimbangan itu salah. Walaupun begitu, penyanggah teori
korespondensi tidak berpendapat bahwa soal menguji kebenaran pernyataan tidak
seterang dan sejelas yang disangka oleh pengikut teori korespondensi.
Pertanyaan kritik yang pertama biasanya adalah: Bagaimana kita dapat
membandingkan ide-ide dengan realitas? Sedangkan kita hanya mengetahui
pengalaman kita. Bagaimana kita dapat keluar dari pengalaman-pengalaman kita
sehingga kita dapat membandingkan ide-ide kita dengan realitas yang ada? Mereka
berkata: "Teori korespondensi berasumsi bahwa kita mengetahui, bukan saja
pertimbangan kita, tetapi keadaan yang nyata di samping pengalaman-pengalaman
kita".[6]
Dari penyampaian
kritik ini, maka ditemukan beberapa kesukaran yang didapatkan dari teori
korespondensi. Di antaranya adalah: Pertama, teori korespondensi
memberikan gambaran yang menyesatkan dan terlalu sederhana mengenai bagaimana
kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan
seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari
suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing.
Kedua,
teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran
kita harus melihat setiap pernyataan satu-persatu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimana pun hal itu sulit untuk dilakukan.
Ketiga,
kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena
kurang cermatnya penginderaan atau indera tidak normal lagi. Di samping itu
teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau
objek yang tidak dapat diindera. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang
sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan
dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.[7]
Dalam perkembangannya,
teori korespondensi dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu
empiris. Ilmu-ilmu empiris memperoleh bahan-bahannya melalui
pengalaman. Tetapi pengalaman atau empiria ilmiah sesungguhnya
lebih dari sekadar pengalaman sehari-hari serta hasil tangkapan
inderawi. Cara ilmiah untuk menangkap sesuatu harus
dipelajari terlebih dahulu dan untuk sebagian besar tergantung
pada pendidikan ilmiah yang harus ditempuh oleh peneliti.[8]
- Teori Koherensi (Coherence Theory of Truth)
Menurut teori
koherensi, kebenaran tidak dibentuk atas dasar hubungan antara pernyataan
dengan kenyataan (fakta dengan realitas), tetapi atas dasar
pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ditegakkan atas
dasar hubungan antara pernyataan yang baru dengan pernyataan-pernyataan lainnya
yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya. Jadi, suatu proposisi itu
cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan)
dengan proposisi lain yang benar. Secara lebih rinci, menurut teori koherensi,
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. Sebagai gambaran, bila pernyataan
semua logam jika kena panas memuai adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa besi merupakan
logam, sehingga bila besi kena panas memuai adalah pernyataan
yang benar.[9]
Teori koherensi atau
konsistensi adalah teori kebenaran yang paling banyak diterima oleh kelompok
idealisme, sebut saja seperti Hegel, Bridley dan pengikut madzhab idealisme
lainnya walaupun penerimaan teori ini tidak terbatas pada kelompok itu. Oleh
karena itu, kita tidak dapat membandingkan fikiran-fikiran dan pertimbangan
kita dengan dunia seperti apa adanya. Teori koherensi menempatkan
kepercayaannya dalam konsistensi atau keharmonisan segala pertimbangan kita.
Dalam keadaan biasa,
kita sering mengatakan bahwa pertimbangan adalah benar atau salah karena ia
adalah sesuai atau tidak sesuai dengan apa yang sudah kita anggap benar
sebelumnya. Atas dasar inilah, penganut paham idealisme akan menolak banyak ide
yang tidak masuk akal dan menganggap beberapa pengalaman sebagai ilusi atau
persepsi yang salah. Walaupun demikian, bukan berarti aliran idealisme menolak
ide atau kebenaran-kebenaran baru yang muncul tanpa adanya penyelidikan.[10]
Dari berbagai uraian
di atas, maka muncullah beberapa kritik tentang teori koherensi. Salah satu di
antaranya adalah para penyanggah teori koherensi ini mengatakan bahwa kita
dapat membentuk suatu sistem yang koheren, baik sistem tersebut benar atau
salah. Mereka mengatakan bahwa teori koherensi tidak membedakan antara
kebenaran yang konsisten dan kesalahan yang konsisten. Pernyataan bahwa “suatu
pertimbangan itu benar jika ia konsisten dengan pertimbangan-pertimbangan lain
yang sudah diterima dan dianggap benar” justru dapat menjerumuskan kita kepada
suatu lingkaran yang berbahaya di mana pernyataan-pernyataan itu palsu.
Masing-masing mengaku benar karena konsisten dengan lainnya. Kemudian para
penyanggah tersebut mengingatkan bahwa pada masa yang lalu banyak sistem yang meskipun
menurut logika bersifat konsisten, ternyata keliru. Oleh karena itu, maka
korespondensi kepada fakta merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh
sistem yang paling konsisten.
Selain itu, penyanggah
teori koherensi juga mengatakan bahwa teori tersebut bersifat rasional dan
intelektual dan hanya menghadapi hubungan-hubungan logika dalam susunan-susunan
kata. Justru karena itu, teori tersebut gagal dalam memberikan ujian kebenaran
kepada pertimbangan kehidupan sehari-hari. Jika tes koherensi dipakai, ia perlu
lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsisten faktual, yakni persetujuan
antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu. Tetapi hal ini
adalah korespondensi dan bukan koherensi.[11]
Selanjutnya, dalam
perkembangannya, salah satu bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
dengan pembuktian berdasarkan teori koherensi adalah matematika. Plato (427-347
SM) dan Aristoteles (384-322) telah mengembangkan teori
koherensi ini berdasarkan pola pemikiran yang digunakan Euclid dalam menyusun
ilmu ukurnya.[12]
Teori koherensi
menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau
matematik. Nama ilmu deduktif diberikan karena dalam
menyelesaikan suatu masalah atau membuktikan suatu
kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang
bersifat faktual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi
atau penjabaran-penjabaran.
Apa yang harus dipenuhi
agar ciri-ciri deduksi dapat diketahui dengan tepat,
merupakan masalah pokok yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian
yang banyak dianut sampai saat ini adalah deduksi
merupakan penalaran yang sesuai dengan hukum-hukum serta-serta
aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap bahwa
tidaklah mungkin titik-titik tolak yang benar menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang tidak benar.[13]
- Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory of Truth)
Teori pragmatisme
sebenarnya lahir akibat ketidakpuasan terhadap teori-teori kebenaran sebelumnya
yang kemudian mereka mencoba menelorkan satu teori baru yaitu pragmatisme. Pragmatisme
berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma yang artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan
oleh William James di Amerika Serikat. Menurut teori ini, benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori sangat bergantung kepada berfaedah atau tidaknya
ucapan tersebut. Dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam
penghidupannya. Istilah pragmaticisme (pragmaticism) ini pada
awalnya diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1939-1914) bagi
doktrin pragmatisme yang diumumkannya pada tahun 1978.[14]
Menurut teori ini,
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan
bahwa “motivasi merupakan faktor yang sangat penting untuk
meningkatkan prestasi belajar anak” dapat dianggap
benar bila pernyataan tersebut mempunyai
kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar
anak dapat ditingkatkan melalui pengembangan motivasi
belajarnya.
Kebenaran tidak dapat
terjadi karena kesesuaian dengan realitas, karena yang kita ketahui hanya
pengalaman kita sendiri. Di lain pihak, teori koherensi adalah formal dan
rasional. Pragmatisme mengatakan bahwa kita tidak dapat mengetahui substansi,
esensi, serta realitas tertinggi (ultimate reality). Pragmatisme
menentang segala otoritarianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Para pengikut pragmatisme bersikap empiris dalam memberi
tafsiran kepada pengalaman-pengalaman. Bagi mereka, ujian kebenaran adalah
manfaat (utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau
akibat yang memuaskan. Charles S. Pierce yang biasa disebut sebagai Bapak
Pragmatisme, berpendirian bahwa ujian kebenaran yang terbaik tentang suatu ide
adalah pertanyaan: Jika ide itu benar, apakah akibatnya kepada tindakan kita
dalam hidup? Tak ada perbedaan antara kebenaran yang mutlak atau yang statis. Bahkan
menurut William James, ide yang benar adalah ide yang dapat kita asimilasikan,
yang dapat kita sahkan, kita benarkan dan kita buktikan kebenaranya. Ide-ide
palsu adalah yang tidak tesebut seperti di atas.[15]
Oleh karena itu, maka
dapat disimpulkan bahwa menurut pendekatan ini, tidaklah terdapat apa yang
disebut kebenaran yang tetap atau kebenaran yang mutlak. Semuanya berjalan
relatif tergantung sejauh mana teori itu dapat memberikan faidah atau manfaat
dalam hidup dan kehidupan.
Seperti yang terjadi
pada dua teori kebenaran yang kita ulas sebelumnya (korespondensi dan
koherensi), teori pragmatisme ini juga tidak terlepas dari beberapa kritik. Salah
satu di antaranya dikemukakan oleh John H. Randall dan Justus Buchler yang dikutip
oleh Endang Syaifuddin Anshari. Dalam teori pragmatisme tentang konsepsi
kebenaran, kata-kata “berguna” masih dianggap kabur. Kritik lain juga
disampaikan oleh AC. Ewing yang mengemukakan antara lain:
a.
Suatu
kepercayaan mungkin saja berlaku dengan baik walaupun tidak benar atau
sebaliknya suatu kepercayaan mungkin saja berjalan buruk walaupun benar.
b.
Kepercayaan
yang benar biasanya berlaku, hal ini biasanya karena pertama-tama kepercayaan
itu benar.
c.
Apa yang
berlaku bagi seseorang mungkin saja tidak berlaku bagi orang lain, bahkan apa
yang berlaku bagi seseorang tertentu pada waktu tertentu mungkin saja tidak
berlaku bagi dia sendiri pada waktu tertentu.[16]
Selain beberapa teori
kebenaran yang telah kami ulas di atas (korespondensi, koherensi, dan
pragmatisme) sebenarnya masih ada beberapa teori kebenaran yang mungkin dapat
digunakan pada situasi dan waktu tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan
tiga teori di atas. Salah satu di antaranya adalah teori kebenaran performatik.
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau Pemerintah, sedangkan
sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan
nama yang baik di masyarakat. Namun, ketika rezim orde baru digulirkan, PKI
adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI
tidak berhak hidup di Indonesia.
Dalam fase hidupnya,
manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas
yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin
masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada
kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil
dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan menjadi kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan menjadi kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
B.
Evaluasi
Teori Kebenaran
Nampaknya, tiap-tiap
teori kebenaran itu mempunyai nilai dalam situasi tertentu. Teori korespondensi
banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari, begitu juga dalam bermacam-macam
sains. Sering terjadi bahwa kita merasa dapat memeriksa ide-ide kita dengan
fakta-fakta dan menerima konfirmasi setelah peneliti-peneliti lain memeriksa
hasil-hasil kita. Walaupun begitu, dalam bidang-bidang yang rumit dari
pengalaman-pengalaman dan pemikiran manusia, teori korespondensi tidak akan
berfungsi. Dalam keadaan semacam itu kita harus memakai teori koherensi atau
konsistensi. Pada waktu-waktu yang lain, kita mungkin membela teori tersebut
dengan suatu konsep seperti demokrasi, dengan menunjukkan bahwa demokrasi telah
berjalan baik dan memberikan hasil-hasil yang memuaskan dalam pengalaman
manusia.
Terdapat
filosof-filosof dari bermacam-macam aliran yang mengatakan bahwa istilah benar
atau salah adalah ekspresi deskriptif. Asumsi ini telah dibantah dengan pernyataan
bahwa kata “benar” dipakai sebagai ekspresi performatif. Mengatakan bahwa suatu
pernyataan itu benar berarti melakukan tindakan menyetujui atau menerima suatu
pernyataan. Kata-kata “Aku berjanji” berarti melakukan tindakan berjanji.
Apakah “performative theory” kebenaran telah menambah sesuatu yang tidak
dapat tercakup dalam salah satu dari tiga macam teori kebenaran. Ini adalah
persoalan yang masih belum terjawab.[17]
Selanjutnya, A.C.
Ewing yang dikutip oleh Endang Saifuddin Anshari menegaskan bahwa persoalan
mengenai teori kebenaran ini, para filosof dan pemikir percaya bahwa kita tidak
dapat berbuat apa-apa dengan hanya berpegang pada salah satu dari teori saja.
Karena bagaimanapun juga, arah menuju jalan kebenaran sebuah pengetahuan bukan
hanya satu jalan, melainkan banyak.
Oleh karena itu, teori-teori
tersebut saling memperkuat dan tidak berkontradiksi. Dengan kata lain, maka
dapatlah kiranya digabungkan dalam suatu definisi: kebenaran adalah sikap
persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide-ide kita kepada fakta-fakta
pengalaman atau kepada alam seperti apa adanya. Akan tetapi, karena kita tidak
selalu dapat membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya,
maka kita uji pertimbangan tersebut dengan konsistensinya atau dengan pertimbangan-pertimbangan
lain yang kita anggap sah dan benar, atau mungkin juga kita uji dengan faidah
dan akibat-akibatnya yang praktis dalam hidup dan kehidupan.[18]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa uraian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam mencari kebenaran ilmiah, banyak
teori yang dapat digunakan oleh manusia. Sedikitnya dalam hal ini, ada 3 (tiga)
teori kebenaran yang paling banyak dikenal dan digunakan oleh manusia dalam
mencari kebenaran, di antaranya adalah: Pertama, teori korespondensi
yaitu: kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan. Kedua, teori
koherensi atau konsistensi yaitu: penyataan dianggap benar apabila pernyataan itu
sesuai, berhubungan atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
diakui dan dianggap benar. Ketiga, teori pragmatisme yaitu: kebenaran
sebuah pernyataan lebih dilihat pada manfaat dalam kehidupan praktis. Namun,
bagaimanapun juga, ketiga teori ini dalam situasi dan waktu tertentu tentu
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, tidak heran jika
masing-masing teori ini mendapat kritik dan dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam kenyataannya seperti
saat ini, kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dari tiga
pendekatan, yaitu: (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2)
yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, dan (3) yang benar
adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori
kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling
menyempurnakan dari pada saling bertentangan. Maka teori tersebut dapat
digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. Kebenaran adalah
persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman
atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi, karena kita tidak selalu dapat
membandingkan pertimbangan kita dengan situasi yang sebenarnya, maka dapat
diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya atau dengan
pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita uji
dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
DAFTAR
PUSTAKA
Anshari,
Saifuddin, Endang. 1987. Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Beerling at al.
1996. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Tiara Wacana
Jujun
S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Mubarok, Ahmad Farid. Artikel tentang “Teori-teori Kebenaran: Korespondensi, Koherensi, Pragmatik” http://www.infofisioterapi.com/info/teori-teori-kebenaran-filsafat.html, Accesed: June 28, 2010)
Titus, Harold H., dkk, Living Issues
in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi. Jakarta: PT. Bulan
Bintang
[1] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 22
[2] Beerling at al, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), 53
[3] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 237
[4] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 19-20
[5] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama,
21
[6] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 237
[7] Ahmad Farid Mubarok, Artikel tentang “Teori-teori
Kebenaran: Korespondensi, Koherensi, Pragmatik” http://www.infofisioterapi.com/info/teori-teori-kebenaran-filsafat.html,
Accesed: June 28, 2010)
[8] Beerling at al, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), 53
[9] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 23
[10] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 239
[12] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Sinar Harapan, 2005), 57
[13] Beerling at al, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1996), 23
[14] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 27
[15] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 241
[16] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 29
[17] Harold H. Titus dkk, Living Issues in Philosophy, Terj. H. M. Rasjidi
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), 244
[18] Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 31
Komentar
Posting Komentar